Loading...
world-news

Demokrasi Terpimpin (1959–1965) • Demokrasi Orde Baru (1966–1998) - Demokrasi di Indonesia Materi Sejarah Kelas 12


Perjalanan demokrasi di Indonesia pasca-kemerdekaan tidaklah mulus. Setelah sistem parlementer dianggap gagal membawa stabilitas politik pada awal 1950-an, Indonesia mengalami beberapa fase demokrasi dengan karakteristik yang sangat berbeda. Dua periode yang paling menonjol adalah Demokrasi Terpimpin (1959–1965) di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, serta Demokrasi Orde Baru (1966–1998) di bawah Presiden Soeharto.

Kedua periode ini memiliki latar belakang historis, ideologi, dan praktik politik yang berbeda, tetapi sama-sama meninggalkan dampak besar terhadap kehidupan politik, sosial, dan ekonomi bangsa. Artikel ini akan menguraikan perjalanan kedua periode tersebut secara mendalam, meliputi latar belakang, karakteristik, kebijakan, tantangan, serta warisan politiknya bagi Indonesia.


Bagian I: Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

1. Latar Belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia menganut sistem demokrasi parlementer. Namun, sistem ini menghadapi berbagai masalah: seringnya pergantian kabinet, konflik antarpartai politik, dan ketidakstabilan ekonomi. Puncaknya adalah kegagalan Konstituante (1956–1959) dalam menyusun UUD baru sebagai pengganti UUD Sementara 1950.

Kegagalan tersebut mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, serta menandai lahirnya sistem Demokrasi Terpimpin.

2. Konsep Demokrasi Terpimpin

Menurut Soekarno, Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ciri utamanya:

  • Tidak bersifat liberal seperti demokrasi Barat.

  • Kepemimpinan Presiden menjadi pusat kendali politik.

  • Mengutamakan musyawarah mufakat, bukan voting.

  • Negara berorientasi pada ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai alat pemersatu bangsa.

3. Struktur Kekuasaan

Dalam praktiknya, Demokrasi Terpimpin memperlihatkan dominasi Soekarno:

  • Presiden memegang kendali penuh atas lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.

  • DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan diganti dengan DPR-GR (Gotong Royong) yang sebagian besar anggotanya ditunjuk langsung oleh Presiden.

  • Muncul lembaga baru seperti MPRS dan DPAS untuk mendukung keputusan politik Soekarno.

4. Peran Militer dan Partai Politik

  • Militer (ABRI kala itu) memperoleh peran politik yang besar, terutama melalui doktrin “dwifungsi” sebagai kekuatan pertahanan sekaligus sosial-politik.

  • Partai-partai politik kehilangan otonomi. Partai Komunis Indonesia (PKI) justru semakin menguat karena mendapat dukungan dari Soekarno.

  • Partai Islam dan nasionalis tradisional semakin terdesak.

5. Kebijakan Ekonomi dan Sosial

  • Perekonomian terpuruk akibat inflasi tinggi, salah urus, dan beban politik internasional.

  • Nasionalisasi perusahaan asing dilakukan, tetapi pengelolaannya tidak efektif.

  • Politik luar negeri cenderung konfrontatif: Indonesia keluar dari PBB (1965), melakukan konfrontasi dengan Malaysia, serta mendekat ke blok komunis.

6. Krisis Politik dan Akhir Demokrasi Terpimpin

Meskipun awalnya dianggap sebagai solusi, Demokrasi Terpimpin justru melahirkan instabilitas baru:

  • Polarisasi politik semakin tajam, terutama antara PKI, militer, dan kelompok Islam.

  • Ekonomi semakin memburuk, inflasi mencapai ratusan persen.

  • Krisis memuncak dengan peristiwa G30S/PKI 1965 yang menewaskan sejumlah jenderal TNI.

Kejadian ini mengakhiri era Demokrasi Terpimpin dan membuka jalan bagi lahirnya Orde Baru di bawah Soeharto.


Bagian II: Demokrasi Orde Baru (1966–1998)

1. Latar Belakang

Pasca peristiwa G30S/PKI, Soeharto memperoleh dukungan politik dan militer untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Dengan dikeluarkannya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), Soeharto mulai memegang kendali dan pada tahun 1967 resmi menjadi Pejabat Presiden, lalu Presiden RI ke-2 pada 1968.

Era ini dikenal sebagai Orde Baru, yang menegaskan dirinya sebagai koreksi terhadap “penyimpangan” Demokrasi Terpimpin.

2. Prinsip Demokrasi Orde Baru

Orde Baru menjanjikan demokrasi yang lebih stabil, dengan ciri:

  • Menegakkan kembali Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen (versi Orde Baru).

  • Menjaga stabilitas politik sebagai syarat pembangunan ekonomi.

  • Menempatkan militer sebagai kekuatan politik melalui Dwifungsi ABRI.

  • Membatasi kebebasan politik demi “stabilitas nasional”.

3. Struktur Kekuasaan

  • Presiden Soeharto menjadi pusat kekuasaan dengan masa jabatan panjang (1966–1998).

  • Sistem politik dikuasai Golongan Karya (Golkar) yang selalu memenangkan pemilu.

  • Partai politik dipaksa bergabung menjadi hanya tiga: PPP, Golkar, dan PDI.

  • DPR dan MPR lebih berfungsi sebagai lembaga stempel kebijakan Presiden.

4. Peran Militer dan Partai Politik

  • ABRI memainkan peran dominan, menempati kursi di parlemen, birokrasi, dan bisnis.

  • Partai politik sangat lemah dan dibatasi geraknya.

  • Golkar bukan partai politik resmi, tetapi kendaraan politik utama Soeharto.

5. Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan

Salah satu keunggulan Orde Baru adalah pembangunan ekonomi yang terencana:

  • Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

  • Swasembada pangan berhasil dicapai pada 1984.

  • Pertumbuhan ekonomi tinggi pada 1970-an hingga 1980-an, terutama berkat ekspor minyak dan bantuan asing.

  • Namun, pembangunan menimbulkan ketimpangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

6. Politik Luar Negeri

  • Orde Baru lebih pragmatis: kembali masuk PBB, menjalin hubungan baik dengan Barat, terutama Amerika Serikat.

  • Indonesia aktif dalam ASEAN dan memperkuat hubungan internasional untuk menarik investasi.

7. Kontrol Politik dan Represi

  • Kebebasan pers sangat dibatasi, media dikontrol ketat.

  • Aktivis mahasiswa, buruh, dan oposisi sering mendapat tekanan, bahkan penahanan.

  • Pemilu hanya menjadi formalitas, hasilnya selalu menguntungkan Golkar.

8. Krisis dan Runtuhnya Orde Baru

Pada akhir 1990-an, krisis moneter Asia menghantam Indonesia:

  • Nilai rupiah jatuh drastis.

  • Inflasi melonjak, harga kebutuhan pokok naik.

  • Ketidakpuasan rakyat memuncak dengan demonstrasi besar-besaran, dipimpin oleh mahasiswa.

Puncaknya adalah Mei 1998, ketika terjadi kerusuhan besar di Jakarta dan kota-kota lain. Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, mengakhiri era Orde Baru dan membuka jalan menuju era Reformasi.


Bagian III: Perbandingan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Orde Baru

AspekDemokrasi Terpimpin (1959–1965)Demokrasi Orde Baru (1966–1998)
PemimpinSoekarno (karismatik, ideologis)Soeharto (militer, teknokratik)
Sistem PolitikSentralisasi kekuasaan, NasakomSentralisasi kekuasaan, Golkar dominan
MiliterMulai berperan dalam politikSangat dominan (Dwifungsi ABRI)
Partai PolitikDilemahkan, PKI menguatDisederhanakan, dikontrol ketat
EkonomiKrisis, inflasi tinggiPertumbuhan tinggi, lalu krisis 1997
Kebebasan PolitikTerbatas, oposisi ditekanSangat terbatas, represi sistematis
AkhirG30S/PKI, keruntuhan politikKrisis moneter, gerakan reformasi


Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Orde Baru adalah dua fase penting dalam sejarah politik Indonesia yang sama-sama menampilkan wajah demokrasi yang otoriter.

  • Demokrasi Terpimpin menekankan ideologi dan kepemimpinan kharismatik Soekarno, tetapi gagal menstabilkan politik dan ekonomi.

  • Demokrasi Orde Baru membawa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, namun dengan harga mahal berupa represi politik, KKN, dan akhirnya kehancuran ketika menghadapi krisis ekonomi.

Keduanya memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia: demokrasi tidak bisa hanya dijalankan melalui sentralisasi kekuasaan, tetapi harus ditopang oleh kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat.